Oleh AYATROHAEDI

MENURUT tradisi lisan masyarakat Sunda, Islam  mulai masuk ke dalam kehidupan masyarakat Sunda pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Berdasarkan berbagai data banding, antara lain berupa naskah Carita Parahyangan, baik yang “asli” (1580) maupun yang kemudian disusun kembali oleh Pangeran Wangsakerta (1693), dan naskah-naskah karya “Panitia Wangsakerta” pada umumnya (1677-1698), besar sekali kemungkinan bahwa tokoh Prabu Siliwangi itu adalah Prabu Siskala Wastukancana, anak Prabu Maharaja, yang berkuasa cukup lama (1371-1475) (Ayatrohaedi 1986).

Pada masa itulah mulai tumbuh pemukiman orang Islam di Cirebon, kemudian di berbagai daerah sepanjang pesisir utara Jawa Barat, sementara penguasa negara Sunda masih tetap memeluk agama yang lama (Hindu-Budha). Kesaksian mengenai hal ini antara lain ditemukan dalam laporan perjalanan Tome Pires, yang pada awal abad ke-16 turut dalam pelayaran mengelilingi dunia. Tome Pires mengatakan bahwa kerajaan Sunda mempunyai enam buah bandar; bandarnya yang paling timur, Cimanuk, dikuasai oleh orang-orang Islam. Pada saat itu (+ 1513) Cirebon dikatakan tidak termasuk lagi sebagai daerah kerajaan Sunda, tetapi sudah berdiri sendiri, dan di situ kekuasaan Islam sudah sepenuhnya tegak (Cortesao 1944).

Sejak itu, terlebih-lebih setelah Sunan Gunung Djati menguasai Banten (1525) dan Sunda Kelapa (1527), boleh dikatakan masyarakat di sepanjang pesisir utara Jawa Barat “menjelma” menjadi masyarakat Islam. Dalam pada itu, masyarakat pedalaman sedemikian jauh masih tetap mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka yang lama. Sejumlah naskah yang kemudian dikenal sebagai “naskah-naskah Ciburuy”, misalnya, merupakan salah satu petunjuk akan masih kuatnya tradisi sebelum Islam itu. Padahal, banyak di antara naskah itu yang berasal dari abad ke-18 akhir. Naskah-naskah itu di antaranya ialah naskah Sewakadarma (Ayatrohaedi 1988), Carita Ratu Pakuan (Aca 1970), Kawih Peningkes dan Jatiniskala (Ayatrohaedi dkk. 1987).

Namun, kerena pusat-pusat kebudayaan Sunda sudah sepenuhnya bercorak Islam, khazanah lama yang tersimpan di kabuyutan-kabuyutan terpencil itu tidak lagi sempat menyebar. Tradisi lama hanya bertahan di pencilan-pencilan itu, dan dalam percaturan kebudayaan kemudian menjadi pusat-pusat pertahanan budaya lama yang kian terdesak. Demikianlah, akhirnya mulai abad ke-19, jika orang berbicara tentang masyarakat Sunda, maka salah satu ciri khasnya adalah Islam.

Kesadaran manunggalnya Sunda dan Islam itu paling akhir mencuat dalam Musyawarah Masyarakat Sunda II, yang diselenggarakan dalam tahun 1967. Ungkapan Islam-Sunda dan Sunda-Islam haruslah dilafadzkan dalam satu tarikan nafas, tanpa memperhatikan bahwa kedua hal itu mengandung perbedaan yang agak mendasar: Sunda-Islam tidak sama dengan Islam-Sunda.

Jika orang berbicara tentang Sunda-Islam, sebenarnya kita berbicara tentang masyarakat Sunda, sedangkan Islam di situ merupakan salah satu ciri utama jatidirinya. Dalam kaitan itu, Sunda-Islam digunakan untuk membedakannya dari kelompok masyarakat Sunda yang lain dengan ciri utama jatidiri yang bukan Islam, misalnya Sunda-Kristen, Sunda-Ateis, dan Sunda-Hindu. Sebaliknya, Islam-Sunda haruslah diartikan bahwa yang menjadi pokok adalah Islam, dan Sunda merupakan salah satu ciri untuk membedakannya dari Islam yang lain. Jika kita berbicara tentang Islam-Sunda, tentunya kita pun akan dapat berbicara tentang Islam-Jawa, Islam-Arab, Islam-Cina, dan Islam yang lainnya.

Dengan demikian, “masyarakat Sunda-Islam” haruslah diartikan sebagai suatu masyarakat yang warganya terdiri dari orang Sunda, dan menjadikan Islam sebagai salah satu ciri utama jatidirinya. Kemudian, jika benar bahwa menurut sejarah sejak abad ke-19 praktis seluruh masyarakat Sunda (berusaha) menjadikan Islam sebagai jatidirinya, berarti bahwa makalah ini berbicara tentang masyarakat mayoritas Sunda. Dengan kata lain, yang dibicarakan adalah masyarakat Sunda sebagai suatu masyarakat yang utuh, dengan beberapa pengecualian dari kelompok masyarakat Sunda yang kurang berperanan dalam suasana sentuh budaya dengan masyarakat lain, misalnya orang Kanekes.

Dengan pengertian itu berarti bahwa masyarakat Sunda-Islam terdapat di semua lapisan masyarakat, hidup di berbagai daerah pemukiman, dengan kasab (profesi) yang bermacam-macam, dengan latar dan lingkungan pendidikan , sosial, budaya, dan adat kebiasaan yang berbeda pula.

Budaya Barat

JIKA orang berbicara tentang budaya Barat, pada umumnya pokok pembicaraan adalah budaya yang dihidupi dan menghidupi Barat, terutama Eropa dan Amerika. Batasan “Barat” mengacu pada Eropa dan Amerika itu antara lain terlihat dalam nama salah satu Jurusan di Universitas Leiden, Sociologie der niet-Westerse Volken (Sosiologi Bangsa-Bangsa Bukan-Barat), yang ternyata wilayah kajiannya meliputi bangsa-bangsa yang bukan Eropa dan Amerika. Dengan kata lain, niet-Westerse Volken ialah semua bangsa yang bukan Eropa dan Amerika.

Barat yang dibatasi Eropa dan Amerika, dapat dikembangkan menjadi masyarakat yang (ternyata) beragama Kristen (atau bahkan ateis) dan dianggap atau menganggap diri memiliki teknologi maju. Itu berarti bahwa yang bukan Barat adalah bangsa lain yang bukan Kristen dan mempunyai teknologi belum begitu maju.

Jika batasan itu diterapkan kepada masyarakat Sunda, nampaknya ciri-ciri itu hampir semuanya cocok. Masyarakat Sunda-Islam adalah masyarakat bukan Barat, bukan Kristen, dan teknologinya belum begitu maju (setidaknya menurut tolok ukur Barat itu sendiri). Dengan demikian, budaya Barat pun tentulah harus memiliki ketiga laksana atau atribut itu. Budaya barat ialah budaya yang menghidupi dan dihidupi masyarakat Ero-Amerika yang perkembangan dan pengembangannya didasari oleh agama Kristen (mulanya) dan pada masa kini ciri utamanya adalah teknologi.

Budaya barat ini mulai masuk Indonesia bersamaan dengan mulai datangnya bangsa Eropa, yaitu sekitar abad ke-16. Pendukung budaya Barat yang berturut-turut muncul di Indonesia ialah orang-orang Portugis, Belanda, Spayol, Inggris, Perancis, Jerman, dan akhirnya juga Rusia. Corak budaya yang mereka bawa diterima oleh berbagai lingkungan masyarakat yang berlainan, dengan catatan bahwa pengaruh yang paling besar tentunya berasal dari budaya Belanda, sesuai dengan panjangnya masa pemengaruhannya di negara Indonesia.

Di bidang kebudayaan, tindakan Belanda yang ternyata “membongkar” akar tradisi yang berkembang sebelumnya ialah upayanya memperkenalkan sistem pendidikan sekolah yang lebih mengutamakan “pengetahuan umum” daripada pengetahuan agama. Tentu saja sistem itu memang dikenalkan, karena merupakan salah satu alat yang ampuh untuk menghancurkan sistem pendidikan mandala (Hindu) dan pesantren (Islam) yang sudah berlangsung di kalangan msyarakat Indonesia. Bahkan kemudian ternyata, berkat dukungan penguasa, sistem pendidikan itulah yang kemudian lebih banyak dianut di Indonesia, termasuk lembaga-lembaga pendidikan yang sebenarnya berdasarkan Islam.

Unsur-unsur budaya Barat lainnya, juga sedikit demi sedikit berhasil menggusur unsur budaya tradisional yang sebenarnya sudah lama berkembang di kalangan masyarakat Indonesia. Pembaratan itu terus berlangsung, sementara peng-Islaman mengalami kemunduran.

Di bidang pemikiran, misalnya, kita sekarang umumnya lebih mengenal Plato, Socrates, Bertrand Russel, atau bahkan Marx, daripada misalnya Muhammad Abduh, Iqbal, Jamaluddin al-Afghani, dan Umar Kayam. Bahkan, barangkali patut dipertanyakan, siapa orang Sunda sekarang yang mengenal Hasan Mustapa atau Nawawi al-Bantani labih baik daripada pengenalannya terhadap tokoh-tokoh filusuf Eropa itu.

Jalan Keluar

DARI gambaran kasar itu jelas nampak bahwa budaya Sunda dan budaya Barat merupakan dua kutub yang saling berhadapan. Dalam lawungan (konfrontasi) itu juga terlihat bahwa budaya Sunda berada pada kedudukan yang lebih lemah. Kedudukan lemah ini terutama disebabkan oleh sangat berperannya faktor terakhir dalam lawungan itu, yaitu teknologi yang menjadi ciri budaya Barat, dengan tradisi yang merupakan ciri budaya Sunda.

Kedudukan yang sudah lemah itu kemudian diperparah oleh adanya pemihakan dari para penentu dan pelaksana kebijakan terhadap teknologi. Pada gilirannya, pemihakan terhadap teknologi itu sebenarnya berangkat dari anggapan bahwa teknologi mencerminkan kemajuan ilmu, sedangkan segala sesuatu yang dianggap ilmiah senantiasa bersumber dari budaya Barat.

Pengagungan terhadap ilmu (dan teknologi) Barat itu tentu bukan sesuatu yang salah. Bukankah Rasulullah sendiri menganjurkan agar kita menuntut ilmu, sampai ke mana pun? Namun, apakah kegandrungan akan segala sesuatu yang berbau ilmiah (dan Barat) itu disertai dengan upaya menggarap tradisi yang sebenarnya sudah jauh lama menjadi milik kita sebelum orang dan budaya Barat tiba di Sunda?

Jika saja kita mau agak berpaling kepada tinggalan nenek-moyang kita yang ada, dan mencoba merenungkannya, seharusnya kita sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya dari segi ilmu dan teknologi pun sama sekali tidak tertinggal oleh dunia barat. Mungkinkah Borobudur, Prambanan, dan berbagai bangunan kuna lainnya, didirikan tanpa penguasaan ilmu dan teknologi? Mungkinkah ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendasari pendirian bangunan-bangunan itu bukan sesuatu yang telah menjadi tradisi di masyarakat pendukungnya?

Rasanya jelas, jawaban untuk pertanyaan pertama tidak mungkin, sedang jawaban untuk pertanyaan kedua, ya. Masalahnya, di mana kita dapat memperoleh semua pengetahuan warisan nenek-moyang kita itu? Selain meninggalkan bangunan megah, leluhur kita juga meninggalkan warisan lain yang justru mengabadikan gagasan, ilmu, dan seni yang cukup beragam. Semuanya itu tertuang dalam naskah-naskah lama yang sudah mereka wariskan sejak abad ke-19. Naskah-naskah itu ditulis dengan sejumlah bahasa, antara lain Jawa, Sunda, Bali, Arab, Bugid, Aceh, Minangkabau, dan Melayu. Di situlah sebenarnya tersimpan khazanah kekayaan batin leluhur kita. Naskah-naskah itu mengungkapkan berbagai ilmu kesehatan, perbintangan, pertanian, arsitektur, kesenian, dan lain-lain.

Arab (dan Islam) pernah menjadi kiblat ilmu, teknologi, dan budaya setelah mengaji warisan budaya Yunani yang dijadikan sumber acuan untuk mengembangkan kemungkinan yang terdapat di dalam kandungan budaya dan wilayah Arab dan Islam sendiri. Eropa kemudian mengambil alih peran itu, setelah mereka mengaji warisan Yunani, Islam, dan lainnya.  Menggali semua kemungkinan yang terkandung di dalam khazanah budaya asli mereka.

Jika kita mau bercermin kepada kenyataan sejarah, bagi kita pun terbuka kemungkinan untuk menjadi kiblat ilmu, teknologi, dan budaya yang tidak kalah dari kiblat-kiblat budaya yang lain. Kita harus mengaji warisan budaya Islam, Eropa, Asia, dan lainnya; menggali semua kemungkinan yang terkandung di bumi kita sendiri. Untuk itu, sebagai langkah awal kita harus bersedia menerima kenyataan bahwa ilmu dan teknologi tinggi yang pernah kita miliki di masa lampau bukanlah sekedar untuk diangungkan dan dikagumi.

Kenyataan hingga saat ini justeru demikian. Kita mengagumi Borobudur, Prambanan, Kisah Ramayana, ajaran Tasawuf, dan lain-lain. Kemudian titi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita merasa cukup dengan jejalan budaya Barat, tanpa peduli apakah sebenarnya budaya Barat itu madu atau racun bagi kita.

Sudah masanya kita memperhatikan tradisi, atau ilmu, teknologi, dan budaya yang tersembunyi dalam tradisi kita. Di antara ratusan atau mungkin ribuan, naskah yang menyimpan gagasan, ilmu, dan khazanah batin leluhur kita itu, berapa yang sudah terungkapkan hingga saat ini?

Diperlukan sejumlah orang yang mau mengorbankan diri memasuki dunia yang kaya namun sangat memiskinkan itu. Barangkali sudah saatnya mereka yang menguasai bahasa Arab, misalnya, menggali naskah-naskah berbahasa Arab yang ditinggalkan leluhur kita orang Sunda di masa lalu. Hal yang sama, berlaku bagi mereka yang menguasai bahasa Jawa, Sunda, Sansakerta, dan bahasa lain yang dipergunakan para leluhur kita di masa lampau untuk mengabadikan gagasan dan ilmu mereka. Dengan mengetahui apa gagasan-gagasan yang pernah ada itu, kita akan mempunyai alasan untuk mengatakan apakah benar kita sekarang ini Sunda-Islam, ataukah sebaliknya, Islam-Sunda.

Singkatnya, di dalam menghadapi pengaruh budaya Barat, kita dituntut untuk (a) secara terbuka menerima pengaruh itu, (b) menyaring, mengolah, dan memilih unsur budaya Barat yang sesuai dengan keperluan, dan (c) menggali semua kemungkinan yang terkandung dalam khazanah kita sendiri.

Dengan demikian, semboyan kembali ke tradisi, seharusnya ditafsirkan sebagai kesediaan untuk menggali khazanah batin kita sendiri, kemudian kita jadikan sebagai imbangan di dalam menghadapi pengaruh Barat.[]